dikutip dari www.bisnis.com
JAKARTA—Produsen kayu gergajian dan kayu olahan nasional meyakini kinerja ekspornya tak akan menyusut pada tahun ini meski penggunaan kayu hutan alam dibatasi dan terjadi penurunan permintaan signifikan ke pasar Eropa.
JAKARTA—Produsen kayu gergajian dan kayu olahan nasional meyakini kinerja ekspornya tak akan menyusut pada tahun ini meski penggunaan kayu hutan alam dibatasi dan terjadi penurunan permintaan signifikan ke pasar Eropa.
Soewarni, Ketua Asosiasi Pengusaha Kayu Gergajian dan Kayu Olahan
(ISWA), menuturkan saat ini ada sekitar 1.500 produsen kayu olahan di
Tanah Air dari total sekitar 5.000 Eksportir Terdaftar Produk Industri
Kehutanan (ETPIK).
Jumlah tersebut menyusut sejak diberlakukannya pembatasan penggunaan kayu yang berasal dari hutan alam melalui pengetatan.
“Dari 1.500 perusahaan kayu olahan yang punya ETPIK, yang aktif hanya
separuhnya, sekitar 600-650 pengusaha,” jelasnya kepada Bisnis, Minggu
(11/11).
Kendati demikian, lanjut Soewarni, secara keseluruhan volume ekspor
kayu olahan serta nilai devisa yang dihasilkan relatif hampir sama
dengan tahun lalu.
“Pada 2011 volume ekspor kayu olahan sekitar 2,2 juta meter kubik,
dengan nilai devisa US$1,3 miliar. Ekspor pada tahun ini saya perkirakan
hampir sama,” tuturnya.
Soewarni mengakui faktor krisis ekonomi menyebabkan permintaan kayu olahan dari pasar Eropa anjlok.
Namun, beberapa pasar alternatif, seperti China, Taiwan, dan Timur
Tengah, justru permintaanya meningkat sehingga bisa mengompensasi
penyusutan pasar Eropa.
“PErmintaan Uni Eropa sangat jatuh sehingga banyak L/C [letter of
credit] yang dibatalkan. Untung saja masih ada pasar China, Taiwan dan
Timur Tengah,” katanya.
Soewarni mengatakan sebagian besar produsen kayu olahan saat ini lebih
dari 50% bahan bakunya berasal dari non-hutan alam, seperti kayu Karet,
Sengon, Jabon, dan Kelapa.
Meski dari sisi harga kayu non-hutan alam lebih rendah dibandingkan
kayu-kayu dari hutan alam, tetapi masih menjanjikan keuntungan untuk
diekspor.
“Jadi volume ekspor tidak turun, bahkan mungkin sedikit meningkat. Tapi
dari sisi nilai devisa yang mungkin turun atau minimal sama,” katanya.
Pada 2013, pelaku industri kayu nasional dihadapkan sejumlah tantangan
untuk dapat menembus pasar Eropa, a.l. kewajiban kepemilikan sertifikat
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).
Soewarni, yang juga Ketua Badan Revitalisasi Industri Kayu (BRIK),
mengklaim pelaku industri kayu dibawah binaanya sudah siap menerapkan
aturan tersebut, meski saat ini baru sekitar 340-350 produsen kayu
olahan yang memiliki SVLK.
“SVLK tidak bisa bisa semua perusahaan punya, tapi bagi yang belum
punya masih bisa ekspor. Namun harus lewat inspeksi,” jelasnya.
Harris Munandar, Kepala Pusat Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu
Industri, mengatakan industri barang kayu dan hasil hutan lainnya
merupakan subsektor manufaktur yang mengalami perlambatan pada tahun
ini.
Hal itu yang menyebabkan target pertumbuhan industri barang kayu dan
hasil hutan lainnya direvisi turun dari estimasi 2,9% pada 2012 dan 3,4%
pada 2013 menjadi masing-masing 0,37% dan 0,51%.
“Untuk industri penggergajian dan pengawetan kayu, rotan, bambu, dan
sejenisnya serta industri barang-barang dari kayu, dan anyaman dari
rotan, bambu dan sejenisnya pada periode 6-12 bulan ke depan akan
mengalami sedikit perbaikan, namun belum pulih sepenuhnya,” jelasnya,
baru-baru ini.
sumber:
http://www.bisnis.com/articles/industri-kayu-regulasi-and-krisis-eropa-tak-halangi-ekspor-kayu-olahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar